
The Boy in the Striped Pajamas
Judul : The Boy in the Striped Pajamas
Penulis : John Boyne
Penerbit : David Fickling Books
Tahun Terbit : 2006
Jumlah Halaman : 216 Halaman
Buku “The Boy in the Striped Pajamas” karya John Boyne diawali dengan kisah sebuah rumah di Berlin yang ditinggali oleh Bruno, seorang anak berusia sembilan tahun. Bruno tinggal bersama ayahnya yang merupakan komandan di kamp konsentrasi Auschwitz, ibunya, dan kakaknya, Gretel. Suatu ketika, keluarga mereka harus meninggalkan Berlin untuk pindah ke sebuah rumah baru yang lebih kecil.
Rumah baru itu memiliki pagar besar yang memisahkan mereka dari ribuan orang yang berada di balik pagar. Bruno dan Gretel tidak memahami sepenuhnya perubahan mendadak ini. Suatu hari, saat berkeliling di sekitar pagar, Bruno bertemu Schmuel, anak Yahudi sebaya yang tinggal di dalam kamp. Kehidupan keduanya sangat berbeda: Bruno tumbuh sehat dan bebas, sedangkan Schmuel kurus, lapar, dan menderita di balik pagar.
Meski begitu, Bruno tidak memandang Schmuel berbeda dari anak-anak lain. Mereka pun menjalin persahabatan rahasia. Dalam pertemuan-pertemuan mereka, Bruno sering mendengar kisah kehidupan Schmuel yang penuh penderitaan. Namun, karena kepolosannya, Bruno selalu mencoba merasionalisasi keadaan, tanpa benar-benar memahami kekejaman yang terjadi di kamp tersebut.
Puncak cerita terjadi ketika Bruno, karena rasa ingin tahunya, ingin masuk ke dalam kamp. Ia menyamar dengan mengenakan “striped pajamas”—seragam para tahanan—yang diberikan Schmuel. Setelah berhasil menyelinap, Bruno ikut digiring bersama tahanan lain ke sebuah bangunan, tempat mereka dipaksa menanggalkan pakaian. Di sana, Bruno menggenggam erat tangan Schmuel hingga akhirnya keduanya menemui ajal mereka akibat gas beracun.
Yang membuat buku ini menarik adalah sudut pandang Bruno sebagai anak kecil yang polos. Kepolosan ini membuat pembaca dapat melihat peristiwa kelam Holocaust dari perspektif yang berbeda: bukan sekadar fakta sejarah, melainkan tragedi kemanusiaan yang menyayat hati. Membaca buku ini menghadirkan pengalaman emosional yang mendalam—membangkitkan rasa sedih sekaligus geram terhadap ketidakadilan yang terjadi.
Bagi saya, nilai penting dari buku ini adalah kesadarannya bahwa keputusan-keputusan yang dibuat secara tidak etis oleh penguasa justru paling menyakiti rakyat kecil yang tidak bersalah. Melalui tokoh Bruno dan Schmuel, pembaca diajak merenungkan betapa berbahayanya totalitarianisme yang mengabaikan nilai kemanusiaan.
“The Boy in the Striped Pajamas” memang merupakan karya fiksi, tetapi sarat makna historis tentang totalitarianisme di era Nazi Jerman. Sistem ini bertentangan dengan demokrasi, karena meniadakan kebebasan berpendapat dan memaksakan keseragaman ideologi melalui kekerasan.
Relevansinya dengan kondisi saat ini juga dapat kita tarik, misalnya pada perdebatan terkait RUU TNI di Indonesia. RUU ini berpotensi memperluas peran militer dalam ranah sipil, sehingga mengancam prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Jika hal ini terjadi, ada risiko terbentuknya pola pemerintahan yang militeristik dan mengekang kebebasan berekspresi masyarakat.
Dengan demikian, buku ini bukan hanya mengisahkan tragedi masa lalu, tetapi juga menjadi pengingat agar kita tidak mengulangi kesalahan serupa. Ekstremisme dan totalitarianisme, dalam bentuk apa pun, merupakan ancaman serius bagi nilai kemanusiaan, nilai demokrasi serta nilai keadilan sosial.
Penulis: Felicia Clarissa Setiono, Siswa Kelas XII SMA Santa Maria Surabaya
Recent Comments
Kampus Ursulin Surabaya
Jalan Raya Darmo 49 Surabaya – Jawa Timur