Filsafat Maut: Empat Renungan untuk Hidup Baik
Judul Buku : Filsafat Maut, Empat Renungan untuk Hidup Baik
Pengarang : Lili Tjahjadi, Fitzerald K. Sitorus, F. Budi Hardiman, A. Setyo Wibowo
Editor : F. Budi Hardiman
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : 2024
Buku ini berisi kajian filosofis sekaligus renungan mengenai kematian agar manusia memiliki hidup yang baik. Kematian adalah sesuatu yang tak terelakkan dan selalu menyertai kehidupan manusia. Namun, bagaimana kita memandang dan menghadapinya sepenuhnya tergantung pada kesiapan kita. Inilah inti dari pemikiran yang saya dapatkan setelah membaca buku ini. Buku ini mengupas refleksi tentang kematian melalui empat sudut pandang filsafat: Samurai Jepang, Hegel, Heidegger, dan Stoikisme.
Bab 1: Kematian Tergantung Cara Kita Menghadapinya
Dalam kebudayaan Jepang, samurai memiliki tradisi bunuh diri yang dikenal sebagai seppuku. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk kesetiaan tanpa syarat kepada tuan mereka, bahkan sampai rela mati demi mengikuti tuannya ke alam baka. Kehidupan para samurai begitu keras dan penuh risiko, sehingga mereka memandang kematian sebagai sesuatu yang tak terhindarkan. Mereka hidup dengan kesiapan untuk mati kapan saja demi kehormatan. Dari tradisi ini, saya belajar bahwa bagaimana kita menghadapi kematian sangat dipengaruhi oleh cara pandang kita terhadapnya.
Bab 2: Hubungan antara Kematian dan Kehidupan
Kematian adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan. Setiap manusia pada akhirnya akan mati, dan proses ini adalah sebuah kepastian. Tubuh yang menua akan kembali ke tanah, sementara jiwa kembali ke asalnya. Dalam konteks ini, kematian justru memberikan makna dan arah bagi kehidupan. Ketakutan akan kematian sering kali memotivasi manusia untuk terus bertahan hidup, mengembangkan diri, dan menghargai setiap momen yang dimiliki.
Bab 3: Takdir Manusia untuk Mati
Menurut Heidegger, manusia hidup dalam batasan waktu dan selalu diiringi oleh kematian. Ia menggambarkan manusia sebagai entitas yang “dilempar” ke dunia dengan tujuan tertentu. Sama seperti sebuah bola yang dilempar dengan arah dan sasaran, manusia hidup untuk menjalankan takdir yang telah ditetapkan. Kematian, dalam pandangan ini, bukan hanya akhir dari perjalanan, tetapi juga menjadi elemen penting yang mendefinisikan keberadaan manusia.
Bab 4: Kematian Menurut Stoikisme
Filsafat stoikisme mengajarkan kita untuk memfokuskan perhatian pada hal-hal yang dapat kita kendalikan dan menerima hal-hal yang berada di luar kendali, termasuk kematian. Kematian adalah proses alamiah yang tidak dapat dihindari oleh siapa pun. Oleh karena itu, kita tidak perlu melawan atau takut pada kematian, melainkan menerimanya dengan tenang sebagai bagian dari siklus kehidupan.
Kesimpulan
Buku ini memberikan wawasan yang mendalam tentang kematian dari berbagai perspektif filosofis. Dari tradisi samurai Jepang, kita belajar tentang keberanian dan kesetiaan. Dari Heidegger, kita memahami bahwa kematian adalah takdir yang melekat pada keberadaan manusia. Dan dari stoikisme, kita belajar untuk menerima kematian dengan kebijaksanaan dan ketenangan. Melalui pembahasan yang komprehensif, buku ini mengajak kita untuk tidak hanya menerima kematian sebagai sebuah kepastian, tetapi juga melihatnya sebagai cermin untuk lebih menghargai hidup yang kita jalani.
Penulis: Eda Trygve Tjahjono, Siswa Kelas X, SMA Santa Maria Surabaya
Recent Comments
Check Out
Popular Posts
The Compass: Filosofi Arete untuk Bahagia Sejati
The Compass: Filosofi Arete untuk Bahagia Sejati Judul Buku : The Compass, Filosofi Arete
Jiwa Manusia di Bawah Sosialisme
Jiwa Manusia di Bawah Sosialisme Judul Buku : Jiwa Manusia di Bawah Sosialisme Pengarang
Kampus Ursulin Surabaya
Jalan Raya Darmo 49 Surabaya – Jawa Timur