Para Pembunuh Tuhan

Judul Buku             : Para Pembunuh Tuhan

Pengarang              : A. Setyo Wibowo dkk.

Penerbit                 : Kanisius

Tahun Terbit          : 2013

Para Pembunuh Tuhan karya A. Setyo merupakan karya non-fiksi bergenre filsafat sekaligus spiritualitas yang mencoba membahas tema-tema besar seperti makna Tuhan, keberadaan manusia, dan perjuangan melawan dogma. Buku ini memadukan elemen yang kental dengan pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang keyakinan, moralitas, dan kebebasan berpikir. Buku ini mengisah tentang sekelompok individu yang mencoba menggugat konsep keTuhanan yang dogmatis dan membongkar hegemoni kepercayaan yang dianggap mengekang kebebasan manusia. Melalui cerita yang penuh simbolisme, A. Setyo mengajak pembaca untuk merenungkan ulang pemahaman mereka tentang agama dan spiritualitas. Bahasa yang digunakan penulis cukup filosofis dan membutuhkan perhatian pembaca agar tidak kehilangan makna yang ingin disampaikan. Namun, bagi pembaca yang tidak terbiasa dengan tema filsafat, buku ini mungkin terasa berat (bagi diri saya sendiri, buku ini juga cukup berat). Sebaliknya, bagi mereka yang menyukai diskusi tentang tema-tema besar seperti ini, buku ini adalah bacaan yang sangat memuaskan.

Hasil literasi buku ini berfokus pada bab yang berjudul “Kita Para Pembunuh Tuhan”. Buku ini menggunakan gagasan tersebut untuk mengkritisi hilangnya spiritualitas dalam dunia modern. Sejauh ini buku ini memang sangat rumit dan banyak filsuf terkenal yang dicantumkan namanya. Namun, di sini saya memang lebih fokus kepada Nietzsche. Bab ini menjelaskan bagaimana manusia modern “membunuh Tuhan” secara metaforis melalui perkembangan rasionalitas, ilmu pengetahuan, dan penolakan terhadap dogma tradisional. Proses ini membuat manusia kehilangan pusat nilai tradisional yang selama ini dipegang teguh, seperti moralitas berbasis agama. Di buku ini, Nietzsche menunjukkan kalau Tuhan memiliki arti yang luas. Tuhan sering diartikan sebagai entitas tertinggi atau bisa saja merujuk pada apa saja yang dituhankan oleh manusia itu sendiri. Dengan adanya Tuhan, manusia memiliki tujuan hidup. Bukan hanya itu, bahkan manusia mulai melakukan berbagai hal karena alasan “Tuhan”. Hasrat manusia akan selalu mengatasnamakan Tuhan atas segala hal yang dilakukannya.

Buku ini juga menjelaskan pandangan Nietzsche mengenai manusia itu sendiri. Dia menganggap kalau manusia merupakan binatang pemuja, kalau Tuhannya mati tidak akan ada pegangan lagi yang cukup tinggi buat manusia. Mengakibatkan manusia selalu menganggap kalau mereka adalah makhluk paling mulia dan sempurna yang pernah diciptakan oleh Tuhan. Mengakibatkan perang atau masalah sosial yang mengatasnamakan “Tuhan”. Tapi kalau “Tuhan” itu mati, bagaimana? Di dalam buku ini tertulis “Apa jadinya jika pegangan Kebenaran akhir itu luluh lantak dan mati? Nihilisme!” Dalam tahap ini, mereka benar-benar akan merasa resah dan kebingungan. Di mata Nietzsche, situasi nihilisme yang dianalisis pasca kematian Tuhan itu akan memunculkan dua kemungkinan: nihilisme pasif dan aktif. Menyoroti bahwa “kematian Tuhan” memunculkan tantangan besar, yaitu menghadapi kekosongan nilai (nihilisme) dan menemukan makna baru untuk hidup tanpa bergantung pada kepercayaan lama.Buku ini juga membahas dampak “kematian Tuhan” yang dapat menyebabkan nihilisme. Nietzsche melihat nihilisme sebagai fase yang perlu dilalui manusia sebelum menemukan pencerahan baru, dan Setyo Wibowo mengaitkan ide ini dengan perjuangan intelektual manusia masa kini.

Friedrich Nietzsche menggambarkan “kematian Tuhan” sebagai metafora untuk hilangnya relevansi agama tradisional akibat modernisasi. Hal ini membawa manusia ke dalam krisis nihilisme, yaitu perasaan hidup tanpa makna atau tujuan. Namun, Nietzsche melihat nihilisme sebagai fase transisi yang harus dilalui untuk mencapai pencerahan baru. Ia menekankan bahwa manusia memiliki tanggung jawab untuk menciptakan nilai-nilai baru secara kreatif, yang lahir dari kebebasan, bukan dogma.

Tuhan itu sebenarnya tidak mati, dalam arti “hilang nyawa”, bukan seperti itu. Buku ini lebih condong mengacu pada manusia itu sendiri. Manusia, yang mulai melupakan Tuhan, masuk ke dalam fase nihilisme dan mencoba mencari tujuan hidup baru yang harus ditekuni. Saya menangkap kalau Tuhan itu sendiri merupakan sesuatu dalam diri kita. Kita percaya kalau Tuhan itu ada dan kita menyalahgunakan hal tersebut hingga kita sendiri membunuh Tuhan itu sendiri. Tuhan telah mati dari dalam diri kita. Karena modernisasi ini, kita telah melupakan Tuhan, kita telah membunuh Tuhan!

Maka, buku ini mengajari kita cara menyadari iman kita sendiri. Apakah buku ini recomended untuk dibaca? Benar, buku ini benar-benar layak untuk dibaca karena memiliki arti yang mendalam ketika membahas konteks keagamaan atau kehidupan manusia itu sendiri.

Penulis: Fabio Alexander Susanto, Siswa Kelas XII, SMA Santa Maria Surabaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Out

Popular Posts

Filsafat

Filosofi Teras

Filosofi Teras Judul Buku          : Filosofi Teras Pengarang          : Henry Manampiring Penerbit              : Gramedia Tahun Terbit       : 2023  Filosofi

Read More »
Motivasi

Mengatasai Hambatan-Hambatan Kepribadian

Mengatasi Hambatan – Hambatan Kepribadian Judul Buku                   : Mangatasi Hambatan-Hambatan Kepribadian Nama Pengarang        : A.M. Mangunhardjana, SJ. Penerbit                       : Kanisius,Yogyakarta.

Read More »
Edukasi

9 Karekter Guru Efektif

9 Karakter Guru Efektif Judul Buku : 9 Karekter Guru Efektif Pengarang : Jacquie Turnbul Penerbit : esensi, erlangga Group

Read More »